Senin, 25 Februari 2008

Napak Tilas FMN

Di Hari Kelahiran Front Mahasiswa Nasional (FMN) yang ke 4, Pimpinan Pusat FMN menerbitkan kembali sejarah singkat tentang perjalanan FMN sejak dirintis hingga perkembangan terkini. Sejarah singkat yang dituliskan ini, mungkin belum sepenuhnya sempurna, tapi sekurang-kurangnya mampu memberikan pemahaman kepada anggota-anggota FMN tentang pengalaman-pengalaman penting dari perjalangan panjang pembangunan FMN sejak tahun 1994. Mudah-mudahan penulisan singkat mampu bermanfaat bagi kita semua untuk terus memajukan perjuangan massa, memperkuat dan memperbesar organisasi. Salam demokrasi!

Napak Tilas Front Mahasiswa Nasional
Kelahiran Front Mahasiswa Nasional (FMN) tidak terlepas dari penindasan dan penghisapan yang dilakukan rejim fasis boneka imperialis Soeharto terhadap rakyat dan juga pemuda dan mahasiswa di Indonesia. Setelah dikeluarkan kebijakan Normalisasi Kebijakan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) sebagai buntut dari protes besar-besaran mahasiswa dalam peristiwa Malari 1974 dan penolakan terhadap pencalonan kembali Soeharto pada tahun 1978 yang melahirkan tragedi berdarah di ITB, gerakan pemuda dan mahasiswa dipaksa tiarap selama hampir sepuluh tahun (akhir 70an-akhir 80an) dari aktifitas politik di kampus dan pentas politik nasional.

Meskipun dipaksa tiarap, tangan besi rejim Soeharto tetap tidak bisa membungkam semangat perlawanan rakyat dan pemuda-mahasiswa. Di awal tahun 80an, gerakan pemuda-mahasiswa tetap mengkonsolidasikan diri dengan membentuk lingkar-lingkar kelompok studi secara tertutup dan secara terbuka melalui jaringan pers mahasiswa yang ketika itu masih tersebar sebagian besar di pulau Jawa. Gerakan pemuda-mahasiswa ketika itu lebih banyak melakukan aktifitas pergerakan di basis-basis rakyat melalui advokasi kasus atau komunitas dengan mengusung isu-isu populis seperti demokratisasi dan HAM.

Dari konsolidasi kecil-kecilan ini, gerakan pemuda-mahasiswa mulai kembali ke ranah kampus di akhir tahun 80an dengan mendirikan forum-forum komunikasi mahasiswa, seperti Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), Forum Komunikasi Mahasiswa Bandung dan Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS). Kentalnya perbedaan cara pandang dalam menganalisa situasi konkret masyarakat Indonesia, monopoli kepemimpinan organisasi oleh individu atau segelintir orang ditambah dengan lemahnya upaya mensolidkan organisasi, akhirnya memaksa forum-forum komunikasi mahasiswa tersebut membubarkan diri.

Pasca bubarnya konsolidasi forum-forum komunikasi mahasiswa, konsolidasi lebih lanjut dilakukan dengan dibentuknya Forum Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dalam kurun waktu 1991-1994. Aksi-aksi politik terbuka mulai dilakukan dengan menggunakan komite-komite aksi setiap kali menggelar unjuk rasa. Isu-isu yang diangkat masih seputar HAM dan Demokrasi baik di sektor mahasiswa dan masyarakat secara umum, namun tetap mengarah pada perlawanan terhadap rejim Soeharto. Konsolidasi organisasi masih menggunakan sistem jaringan. Dalam perkembangannya, keberadaaan FAMI berhenti di tengah jalan yang disebabkan oleh persoalan-persoalan yang tidak jauh berbeda yang dialami oleh forum-forum komunikasi mahasiswa. Sementara SMID kemudian berkembang menjadi organisasi permanen.

Diantara kurun waktu 1994-1996, terjadi peningkatan perjuangan melawan otoritarian rejim Soeharto, meskipun masih terdapat perbedaan pandangan tentang analisa masyarakat Indonesia dan bagaimana strategi dan taktik melawan rejim Soeharto, apakah sekedar menggulingkan Soeharto dari kelompok yang dianggap berpandangan fungsional dengan mengusung isu-isu populis atau sekaligus merubah sistem yang ada, yang dinilai ketika itu bahwa sistem masyarakat Indonesia ketika itu adalah kapitalis oleh kelompok yang beraliran strukturalis. Saling curiga diantara organisasi-organisasi yang ada juga begitu mengemuka terutama di kalangan pimpinan organisasi, hingga sangat berpengaruh pada upaya pengkonsolidasian gerakan-pemuda mahasiswa secara nasional.

Di tengah konsolidasi besar yang ada antara SMID dan FAMI, terdapat juga kelompok-kelompok mahasiswa di daerah-daerah yang juga berkeinginan untuk bergabung dalam konsolidasi gerakan pemuda-mahasiswa secara nasional. Namun, situasi konsolidasi gerakan pemuda-mahasiswa secara nasional yang cukup carut marut, mengakibatkan kelompok-kelompok mahasiswa di daerah ini cukup berhati-hati dalam bertindak. Di tengah situasi seperti itu, kelompok mahasiswa tingkat Kampus dari Jogja, Medan, Jakarta, Lampung dan Sulawesi menyelenggarakan workshop di Bandar Lampung tahun 1993 dan kemudian mendirikan sebuah jaringan pendidikan nasional yang bernama Komite Pendidikan Nasional (KPN) tahun 1994. KPN inilah yang dalam perjalanannya menjadi cikal bakal berdirinya Front Mahasiswa Nasional (FMN).

Upaya pembangunan KPN dilakukan dari rentang waktu 1994-1996. Ketika itu, KPN masih menggunakan sistem jaringan. Upaya konsolidasi KPN dilakukan dengan pengadaan edukasi bersama antar jaringan. Edukasi bersama yang dilakukan KPN cukup mampu menyatukan cara pandang, terutama tentang masyarakat Indonesia yang ketika itu juga disimpulkan sebagai masyarakat yang kapitalistik. Selain itu, KPN kemudian juga mampu memperluas jaringannya dengan bergabungnya Forstep (Malang), FKMM (Mataram) dan KA Unpad (Bandung). Dalam perjalannya hanya 4 kota yang cukup intens melakukan konsolidasi yaitu Jogja, Malang, Bandung dan Lampung. Sementara untuk Medan dan Sulawesi tidak terkonsolisasi karena lebih banyak terbentur persoalan finansial. Sementara Jakarta lepas dari KPN karena ada beda pandangan tentang taktik perjuangan. Kepemimpinan politik nasional dari KPN belum terbentuk. Kepemimpinan politik masih diberikan kepada masing-masing kota melalui aksi-aksi yang digalang dengan komite aksi yang di bentuk di masing-masing kota.

Tahun 1996 adalah pukulan bagi gerakan demokratis di Indonesia, termasuk bagi gerakan pemuda-mahasiswa dan KPN sendiri. Setelah meletusnya peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli) yang berakhir dengan pengejaran, peculikan, penangkapan bahkan pembunuhan terhadap aktifis-aktifis PRD Cs, represi juga dialami oleh hampir seluruh aktifis pro demokrasi di Indonesia, tak terkecuali bagi KPN. Ditengah represi yang begitu menguat dari rejim Soeharto, KPN tetap berupaya untuk mengkonsolidasikan barisannya dengan mengadakan peretemuan reguler di empat kota tersebut. Pada peringatan Hari HAM Interansional, 10 Desember 1996, KPN kembali muncul dengan menggelar unjuk rasa melalui komite-komite aksi yang dibentuk di kota-kota yang terdapat jaringan KPN.

Pada tahun 1997, KPN menyelenggarakan pertemuan di Jombang untuk kembali memperkuat konsolidasi, menyikapi perkembangan politik nasional dan menindaklanjuti persoalan edukasi di masing-masing kota. Pasca pertemuan Jombang, edukasi mulai berjalan secara masif di berbagai kota. Selain itu, organisasi-organisasi yang tergabung dalam KPN juga berperan aktif dalam perjuangan yang dimotori pemuda-mahasiswa dalam pelengseran rejim Soeharto di berbagai daerah, 21 Mei 1998. Di tahun 1998 kembali diadakan pertemuan di Malang, yang membahas perumusan kurikulum pendidikan dan pembangungan organisasi tingkat kota. Pada pertemuan ini, tidak lagi menggunakan nama KPN dan mulai ada penggunaan istilah Forum Mahasiswa Nasional (FMN).

Tahun 1999 konsolidasi telah menggunakan nama Forum Mahasiswa Nasional dengan fokus pembangunan organisasi tingkat kota yang menghimpun organisasi tingkat kampus. Ketika itu masih bernama Kelompok Kerja Nasional FMN (Pokja FMN). Kemudian disusul dengan pembangunan organisasi tingkat kota yang terdiri dari Serikat Mahasiswa Kedaulatan Rakyat (SMKR) Yogyakarta, Front Indonesia Muda-Bandung (FIM-B), Serikat Mahasiswa untuk Demokrasi Rakyat (Samudra) Malang, Komite Aksi Mahasiswa untuk Perubahan Rakyat (KMPR) Jombang, Solidaritas Mahasiswa untuk Perjuangan Rakyat (SMPR) Surabaya, Forum Komunikasi Mahasiswa Mataram (FKMM), Serikat Mahasiswa Bandar Lampung (SMBL) dan Forum Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (FMKR) Palembang.

Dalam rentang waktu 1999-2000, FMN mengalami keguncangan internal yang sangat mempengaruhi konsolidasi internal di FMN. Persoalan yang dipicu dari pertentangan internal di Bandung dan merambah ke Jogja bahkan ke Bandar Lampung, berakhir dengan keluarnya KA-Unpad dari FIM-B, bubarnya SMKR dan keluarnya SMBL dari keanggotaan FMN. Hal yang memicu pecahnya konsolidasi karena terjebaknya pimpinan-pimpinan organisasi dalam subjektifsme yang tinggi dan kepemimpinan organisasi yang sangat tergantung pada sosok individu atau segelintir orang, hingga ketika muncul perdebatan yang mengemuka, tidak coba diselesaikan secara prinsipil atas dasar Kritik-persatuan-kritik, tetapi dengan cara-cara liberal dengan menggeret massa dalam konflik yang tidak sepenuhnya dipahami oleh mereka.

Kabut gelap yang menyelimuti FMN diantara 1999-2000 tersebut, mendorong sebagian pimpinan organisasi yang masih konsisten akan perjuangan massa untuk mengambil langkah-langkah penyelamatan organisasi dengan mengkonsolidasikan organisasi-organisasi tingkat kota dan kampus. Upaya tersebut membuahkan hasil dengan terbentuknya kembali Pokja Nasional FMN pada tahun 2000 juga. Di tahun 2001, kembali diadakan konsolidasi di Yogyakarta dengan menyusun kurikulum pendidikan nasional FMN. Kemudian penyamaan langgam kerja organisasi dengan menghidupkan kembali organisasi tingkat kota dan tingkat kampus dengan melakukan pengorganisasian massa dan perjuangan massa baik di tingkat kampus dan di tingkat kota. Dari tahun 2001 hingga 2003, dalam aksi-aksi politik mulai menggunakan nama FMN.

Sementara dalam menganalisa masyarakat masih berdasarkan kesimpulan masyarakat Indonesia adalah masyarakat kapitalis. Namun mulai muncul perdebatan tentang analisa masyarakat Indonesia apakah berkarakter kapitalis atau berkarakter setengah jajahan-setengah feodal. Platform yang diusung adalah “Deorbaisasi dan demiliterisasi serta anti imperialisme” dengan mengusung tuntutan hak-hak demokratis rakyat, pelanggaran HAM dan kebijakan-kebijakan yang anti rakyat dari rejim. Kemudian mulai melakukan trasformasi secara bertahap dari organisasi kader berbasis massa menuju organisasi massa. Namun prinsip-prinsip organisasi seperti Sentralisme Demokrasi, Kepemimpinan Kolektif, Sistem Komite dan Garis massa belum mampu diterapkan secara tepat.

Pada tanggal 18 Mei 2003, bertempat di Balai Rakyat, Utan Kayu, Jakarta, Forum Mahasiswa Nasional secara resmi berganti menjadi Front Mahasiswa Nasional melalui acara yang dikenal sebagai Kongres Pendirian Front Mahasiswa Nasional atau Founding Congress FMN. Sejak itu pula, resmi dideklarasikan FMN sebagai organisasi massa (ormass) pemuda-mahasiswa. Dalam mukadimah Kongres Pendirian juga disebutkan bahwa garis politik atau garis perjuangan FMN adalah perjuangan Demokrasi Nasional yang anti imperialisme, anti feodalisme dan anti kapitalisme birokrasi. Dari segi organisasi, kepemimpinan organisasi dari tingkat pusat hingga basis juga sudah terbentuk.

Dalam setengah tahun perjalanan pasca Kongres Pendirian FMN, muncul persoalan dalam masalah garis politik, muncul ide dari segelintir pimpinan di tingkat nasional untuk merubah garis politik dari “demokrasi nasional” menjadi “sosialisme”. Sementara dalam lapangan organisasi, kepemimpinan individu atau segelintir orang masih begitu mengental, terutama di tingkat nasional dan mulai melemahnya pengorganisasian solid di kalangan massa dan anggota yang sangat berpengaruh pada kosolidasi di internal organisasi. Puncak dari permasalah yang terjadi ini mengemuka ketika Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II di Purwokerto, Desember 2003, yang kemudian mendemisionerkan kepengurusan nasional Komite Pusat FMN dan digantikan dengan Badan Persiapan Kongres FMN (BPK FMN) yang terbentuk pada Januari 2004.

Didemisionerkannya KP FMN ternyata tidak bisa diterima oleh sebagian eks pimpinan nasional KP FMN. Upaya-upaya pendelegitimasian terhadap FMN dengan unsur-unsur provokasi terus dilakukan di beberapa kota terutama di Jogja, Purwokerto, Bandung, dan Padang. Politik pecah-belah yang dilakukan terhadap FMN oleh sebagian eks pimpinan nasional KP FMN, telah merusak konsolidasi FMN. Di Jogja, mereka memecah basis FMN di UGM, UAD dan Univ. Janabadra. Di Purwokerto hal yang sama juga terjadi. Di Bandung, terjadi pada basis FMN Unpad dan menggeret FMN Padang keluar dari FMN.

Beban besar berada di pundak BPK FMN yang bertujuan bukan saja untuk menyelenggarakan Kongres, tetapi tetap menegakkan kepemimpinan organisasional FMN secara nasional dari pusat hingga basis. Memang, anasir-anasir dari eks pimpinan nasional KP FMN yang menentang garis politik Demokrasi Nasional masih dirasakan di tubuh BPK FMN. Itu terjadi ketika muncul perdebatan yang mengemuka di BPK FMN tentang garis politik. Di tambah lagi di BPK sendiri, masih muncul subjektifisme yang tinggi di antara sesama kawan. Namun atas dasar persatuan, hal tersebut sementara dinomor duakan dengan alasan untuk mengoptimalkan konsolidasi menuju Kongres I FMN.

Akhirnya Kongres I FMN terselenggara pada 18 Mei-23 Mei di Bandar Lampung dan Metro, Lampung. Perdebatan yang sangat mengemuka ketika Kongres I adalah tentang garis politik. Namun lagi-lagi atas dasar persatuan, secara tegas Kongres I tidak menetapkan bahwa garis politik FMN adalah Demokrasi Nasional. Upaya untuk membangun kepemimpianan kolektif juga setidaknya telah dilakukan dengan dibentuknya Dewan Pimpinan Pusat FMN sebagai pimpinan tertinggi organisasi di antara dua kongres. Secara umum Kongres I FMN telah menunjukkan beberapa kemajuan dengan adanya Garis Dasar Perjuangan (GDP), Konstitusi organisasi, Program umum dan Program Perjuangan organisasi dan pembentukan DPP FMN.

Tentang Gerakan Pembetulan
Pasca Kongres I, secara perlahan-lahan FMN mulai membenahi dirinya. Dalam perjalanannya, persoalan garis politik ternyata masih menjadi persoalan yang belum mampu diselesaikan secara mendasar. Kemudian persoalan tentang lemahnya tingkat konsolidasi organisasi. Salah satu belum terselesaikannya masalah garis politik ini adalah ketika keluarnya FMN UI dari FMN dan mendirikan FMN-R dan secara nyata menyatakan afiliasi politiknya kepada Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) yang didirikan juga oleh eks KP FMN yang menentang garis politik Demokrasi Nasional.

Akhirnya pada Konferensi Pendidikan Nasional FMN dan Rapat Pleno III DPP FMN di Indralaya, Sumatra Selatan, 2005, ditegaskan kembali bahwa garis politik FMN adalah Demokrasi Nasional. Selanjutnya dalam rapat Pleno III DPP FMN juga telah diputuskan untuk melancarkan “Gerakan Pembetulan” secara politik dan organisasi. Kemudian pada Rapat Pleno IV DPP FMN di Jakarta, Desember 2005, juga telah diputuskan untuk tetap melanjutkan Gerakan Pembetulan.

Mengapa FMN melakukan Gerakan Pembetulan? Secara umum, Gerakan Pembetulan berangkat dari otokritik FMN terhadap perjalanannya selama ini dalam lapangan politik dan organisasi. Pertama, tentang mengentalnya ide borjuasi kecil dalam perjalanan pembangunan FMN dan perjuangan massa yang digelorakan. Kentalnya ide borjuasi kecil didasarkan akan kelemahan teoritis atas analisa terhadap situasi konkret masyarakat Indonesia, yang tidak berdasarkan hasil investigasi sosial dan analisa kelas secara mendalam atas situasi masyarakat Indonesia, baik tentang karakter corak produksi, sejarah perjuangan rakyat di Indonesia, persoalan-persoalan pokok dalam masyarakat Indonesia, siapa musuh-musuh utama rakyat sekaligus Pemuda-Mahasiswa di Indonesia dan bagaimana jalan keluar bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai cita-cita perubahan atas penindasan dan penghisapan yang terjadi.

Padahal inilah keadaan objektif yang harus menjadi pijakan kita bersama baik dalam membangun FMN dan menggelorakan perjuangan massa. Buntut dari mengentalnya ide-ide borjuasi kecil ini, adalah menguatnya subjektifisme dalam perjalalanan FMN terutama di kalangan pimpinan organisasi. Hinga melahirkan praktek-praktek liberalisme yang bertindak atas dasar suka tidak suka dan advountirisme (petualanganisme) baik yang kekiri-kirian yang tergesa-gesa dalam berjuang ataupun kekanan-kananan yang mudah patah di tengah arang dalam berjuang.

Kedua, dominannya ide-ide borjuasi kecil tersebut akhirnya menyeret FMN juga dalam kesalahan secara politik, yaitu tidak tegas dan tepat dalam menentukan garis politik perjuangannya. Karena, baru pada Rapat Pleno III DPP FMN, ditegaskan bahwa garis politik FMN adalah Demokrasi Nasional. Selanjutnya, bagaimana menggencarkan perjuangan massa baik dari tingkat basis (Kampus) hingga nasional. Yang sampai saat inipun kita sadari bahwa perjuangan massa di tingkat basis masih belum maksimal dan masih dominannya aksi-aksi dalam menyikapi politik nasional, yang kurang diimbangi dengan aksi-aksi massa di tingkat basis. Selanjutnya, bagaimana mendorong persatuan FMN dengan gerakan rakyat lainnya terutama dengan gerakan massa klas buruh dan gerakan massa kaum tani baik melalui front persatuan luas dan pekerjaan 3 Sama (sama kerja, sama tinggal dan sama makan).

Ketiga, secara organisasi kemudian, disadari konsolidasi organisasi dari waktu-ke waktu mulai mengalami kelemahan. Kekuatan-kekuatan massa pemuda-mahasiswa yang selama ini dimobilisir oleh FMN dalam aksi-aksinya ternyata belum mampu dihimpun dalam kesatuan organisasi yang solid. Lemahnya edukasi, mengentalnya kepemimpinan individu atau segelintitr orang, tidak tegaknya Sentralisme Demokrasi, penyakit departementalisme, cairnya pengorganisasian massa dan anggota, perkawanan buta (perkawanan tidak berdasarkan prinsip) hingga maraknya praktek-praktek terbelakang, harus diakui sebagai bagian yang membuat perjalanan FMN selama ini terus diguncang oleh pertentangan internal yang menguat. Bahkan sampai kini, hal-hal ini sesekali masih terjadi.

Hal-hal di atas tersebut yang kemudian mendorong kita untuk melakuan Gerakan Pembetulan. Gerakan Pembetulan sekali lagi bukan gerakan penyingkiran terhadap orang-orang tertentu ataupun untuk menjiplak mentah-mentah cara-cara orang lain. Tetapi, Gerakan Pembetulan adalah suatu keharusan bagi FMN untuk menatap masa depan perjuangan massa pemuda-mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia yang lebih gilang-gemilang. Sebuah upaya untuk terus membangkitkan, menggorganisasikan dan menggerakkan massa dalam memperjuangkan hak-hak demokratis-nya. Untuk itu pula Kongers II FMN juga telah melahirkan resolusi khusus untuk tetap melanjutkan Gerakan Pembetulan.

FMN Kini
Kongres II FMN telah berhasil dilaksankan 14-19 September 2006, di Bandung. Kongres II FMN telah mampu melahirkan atau meletakkan dasar-dasar politik dan organisasi yang tertuan dalam Dokumen Kongres II FMN yang berisikan Program Perjuangan dan Konstitusi FMN. Dasar politik itu adalah ditegaskannya dalam konstitusi dan program perjuangan FMN tentang garis politik Demokrasi Nasional sebagai azaz perjuangan FMN. Selanjutnya, tentang pembangunan basis terendah, yaitu organisasi tingkat kampus. Tapi hal yang sangat berarti dari Kongres II FMN, adalah semangat untuk mengobarkan terus perjuangan massa di kampus-kampus dalam memperjuangkan hak-hak mahasiswa di kampus-kampus.

Selain itu, Kongres II FMN juga berhasil melahirkan kepemimpinan kolektif tertinggi di antara dua Kongres yaitu Dewan Pimpinan Pusat FMN (DPP FMN) berjumlah 21 orang dan 6 orang Calon Anggota DPP FMN. Kini, 2 anggota DPP FMN telah dinon-aktifkan atas pelanggaran berat yang dilakukan dan persoalan genting dengan keluarga yang belum bisa ditangani kolektif DPP. Kedudukan mereka kini digantikan oleh 2 CA DPP FMN yang kini resmi menjadi anggota DPP FMN yang diangkat pada Rapat Pleno III DPP FMN, 13-17 Maret 2007 di Malang.

Hingga saat ini, keanggotaan dan organisasi FMN tersebar di 22 kota di seluruh Indonesia, yaitu Medan, Jambi, Palembang, Bandar Lampung, Jakarta, Tangerang, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Jogja, Purwokerto, Wonosobo, Jombang, Malang, Surabaya, Jember, Lamongan, Denpasar, Mataram, Lombok Timur, Singkawang dan Palu dan tersebar di 76 Kampus dengan jumlah anggota sekitar 1500 orang.

Di tingkat internasional, FMN menjadi anggota Internasional League of People Struggle (ILPS) yang mengusung platform “Lawan Penjarahan dan Perang Imperialis” dengan jumlah keanggotan lebih dari 200an dari 40an negera di dunia. ILPS sendiri pada bulan November 2007, akan melaksanakan Sidang Umum ke 3. Selain itu, FMN juga menjadi anggota Asia Student Association (ASA), sebuah organisasi mahasiswa yang menghimpun organisasi-organisasi mahasiswa di tingkat Asia dan Pasifik. ASA dalam tahun 2007 juga berencana melakukan Konfrensi Luar Biasa untuk bertransformasi menjadi Asia Pacific Student and Youth Association (APSYA).

Saat ini fokus utama dari pekerjaan FMN adalah tetap menggelorakan perjuangan massa di kampus-kampus menuntut hak-hak demokratis mahasiswa di kampus dan melakukan Rapat Umum Anggota (RUA) di kampus-kampus. Ke dua hal ini tidak terpisah-pisah tetapi menjadi satu kesatuan, hingga baik kampus-kampus yang telah melakukan RUA atau yang belum melakukan RUA, tetap harus menggelorakan perjuangan massa, sebagai upaya FMN untuk menjawab soal-soal konkret mahasiswa di kampus sekaligus untuk mengkonsolidasikan anggota.

Napak Tilas FMN

Di Hari Kelahiran Front Mahasiswa Nasional (FMN) yang ke 4, Pimpinan Pusat FMN menerbitkan kembali sejarah singkat tentang perjalanan FMN sejak dirintis hingga perkembangan terkini. Sejarah singkat yang dituliskan ini, mungkin belum sepenuhnya sempurna, tapi sekurang-kurangnya mampu memberikan pemahaman kepada anggota-anggota FMN tentang pengalaman-pengalaman penting dari perjalangan panjang pembangunan FMN sejak tahun 1994. Mudah-mudahan penulisan singkat mampu bermanfaat bagi kita semua untuk terus memajukan perjuangan massa, memperkuat dan memperbesar organisasi. Salam demokrasi!

Napak Tilas Front Mahasiswa Nasional
Kelahiran Front Mahasiswa Nasional (FMN) tidak terlepas dari penindasan dan penghisapan yang dilakukan rejim fasis boneka imperialis Soeharto terhadap rakyat dan juga pemuda dan mahasiswa di Indonesia. Setelah dikeluarkan kebijakan Normalisasi Kebijakan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) sebagai buntut dari protes besar-besaran mahasiswa dalam peristiwa Malari 1974 dan penolakan terhadap pencalonan kembali Soeharto pada tahun 1978 yang melahirkan tragedi berdarah di ITB, gerakan pemuda dan mahasiswa dipaksa tiarap selama hampir sepuluh tahun (akhir 70an-akhir 80an) dari aktifitas politik di kampus dan pentas politik nasional.

Meskipun dipaksa tiarap, tangan besi rejim Soeharto tetap tidak bisa membungkam semangat perlawanan rakyat dan pemuda-mahasiswa. Di awal tahun 80an, gerakan pemuda-mahasiswa tetap mengkonsolidasikan diri dengan membentuk lingkar-lingkar kelompok studi secara tertutup dan secara terbuka melalui jaringan pers mahasiswa yang ketika itu masih tersebar sebagian besar di pulau Jawa. Gerakan pemuda-mahasiswa ketika itu lebih banyak melakukan aktifitas pergerakan di basis-basis rakyat melalui advokasi kasus atau komunitas dengan mengusung isu-isu populis seperti demokratisasi dan HAM.

Dari konsolidasi kecil-kecilan ini, gerakan pemuda-mahasiswa mulai kembali ke ranah kampus di akhir tahun 80an dengan mendirikan forum-forum komunikasi mahasiswa, seperti Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), Forum Komunikasi Mahasiswa Bandung dan Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS). Kentalnya perbedaan cara pandang dalam menganalisa situasi konkret masyarakat Indonesia, monopoli kepemimpinan organisasi oleh individu atau segelintir orang ditambah dengan lemahnya upaya mensolidkan organisasi, akhirnya memaksa forum-forum komunikasi mahasiswa tersebut membubarkan diri.

Pasca bubarnya konsolidasi forum-forum komunikasi mahasiswa, konsolidasi lebih lanjut dilakukan dengan dibentuknya Forum Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dalam kurun waktu 1991-1994. Aksi-aksi politik terbuka mulai dilakukan dengan menggunakan komite-komite aksi setiap kali menggelar unjuk rasa. Isu-isu yang diangkat masih seputar HAM dan Demokrasi baik di sektor mahasiswa dan masyarakat secara umum, namun tetap mengarah pada perlawanan terhadap rejim Soeharto. Konsolidasi organisasi masih menggunakan sistem jaringan. Dalam perkembangannya, keberadaaan FAMI berhenti di tengah jalan yang disebabkan oleh persoalan-persoalan yang tidak jauh berbeda yang dialami oleh forum-forum komunikasi mahasiswa. Sementara SMID kemudian berkembang menjadi organisasi permanen.

Diantara kurun waktu 1994-1996, terjadi peningkatan perjuangan melawan otoritarian rejim Soeharto, meskipun masih terdapat perbedaan pandangan tentang analisa masyarakat Indonesia dan bagaimana strategi dan taktik melawan rejim Soeharto, apakah sekedar menggulingkan Soeharto dari kelompok yang dianggap berpandangan fungsional dengan mengusung isu-isu populis atau sekaligus merubah sistem yang ada, yang dinilai ketika itu bahwa sistem masyarakat Indonesia ketika itu adalah kapitalis oleh kelompok yang beraliran strukturalis. Saling curiga diantara organisasi-organisasi yang ada juga begitu mengemuka terutama di kalangan pimpinan organisasi, hingga sangat berpengaruh pada upaya pengkonsolidasian gerakan-pemuda mahasiswa secara nasional.

Di tengah konsolidasi besar yang ada antara SMID dan FAMI, terdapat juga kelompok-kelompok mahasiswa di daerah-daerah yang juga berkeinginan untuk bergabung dalam konsolidasi gerakan pemuda-mahasiswa secara nasional. Namun, situasi konsolidasi gerakan pemuda-mahasiswa secara nasional yang cukup carut marut, mengakibatkan kelompok-kelompok mahasiswa di daerah ini cukup berhati-hati dalam bertindak. Di tengah situasi seperti itu, kelompok mahasiswa tingkat Kampus dari Jogja, Medan, Jakarta, Lampung dan Sulawesi menyelenggarakan workshop di Bandar Lampung tahun 1993 dan kemudian mendirikan sebuah jaringan pendidikan nasional yang bernama Komite Pendidikan Nasional (KPN) tahun 1994. KPN inilah yang dalam perjalanannya menjadi cikal bakal berdirinya Front Mahasiswa Nasional (FMN).

Upaya pembangunan KPN dilakukan dari rentang waktu 1994-1996. Ketika itu, KPN masih menggunakan sistem jaringan. Upaya konsolidasi KPN dilakukan dengan pengadaan edukasi bersama antar jaringan. Edukasi bersama yang dilakukan KPN cukup mampu menyatukan cara pandang, terutama tentang masyarakat Indonesia yang ketika itu juga disimpulkan sebagai masyarakat yang kapitalistik. Selain itu, KPN kemudian juga mampu memperluas jaringannya dengan bergabungnya Forstep (Malang), FKMM (Mataram) dan KA Unpad (Bandung). Dalam perjalannya hanya 4 kota yang cukup intens melakukan konsolidasi yaitu Jogja, Malang, Bandung dan Lampung. Sementara untuk Medan dan Sulawesi tidak terkonsolisasi karena lebih banyak terbentur persoalan finansial. Sementara Jakarta lepas dari KPN karena ada beda pandangan tentang taktik perjuangan. Kepemimpinan politik nasional dari KPN belum terbentuk. Kepemimpinan politik masih diberikan kepada masing-masing kota melalui aksi-aksi yang digalang dengan komite aksi yang di bentuk di masing-masing kota.

Tahun 1996 adalah pukulan bagi gerakan demokratis di Indonesia, termasuk bagi gerakan pemuda-mahasiswa dan KPN sendiri. Setelah meletusnya peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli) yang berakhir dengan pengejaran, peculikan, penangkapan bahkan pembunuhan terhadap aktifis-aktifis PRD Cs, represi juga dialami oleh hampir seluruh aktifis pro demokrasi di Indonesia, tak terkecuali bagi KPN. Ditengah represi yang begitu menguat dari rejim Soeharto, KPN tetap berupaya untuk mengkonsolidasikan barisannya dengan mengadakan peretemuan reguler di empat kota tersebut. Pada peringatan Hari HAM Interansional, 10 Desember 1996, KPN kembali muncul dengan menggelar unjuk rasa melalui komite-komite aksi yang dibentuk di kota-kota yang terdapat jaringan KPN.

Pada tahun 1997, KPN menyelenggarakan pertemuan di Jombang untuk kembali memperkuat konsolidasi, menyikapi perkembangan politik nasional dan menindaklanjuti persoalan edukasi di masing-masing kota. Pasca pertemuan Jombang, edukasi mulai berjalan secara masif di berbagai kota. Selain itu, organisasi-organisasi yang tergabung dalam KPN juga berperan aktif dalam perjuangan yang dimotori pemuda-mahasiswa dalam pelengseran rejim Soeharto di berbagai daerah, 21 Mei 1998. Di tahun 1998 kembali diadakan pertemuan di Malang, yang membahas perumusan kurikulum pendidikan dan pembangungan organisasi tingkat kota. Pada pertemuan ini, tidak lagi menggunakan nama KPN dan mulai ada penggunaan istilah Forum Mahasiswa Nasional (FMN).

Tahun 1999 konsolidasi telah menggunakan nama Forum Mahasiswa Nasional dengan fokus pembangunan organisasi tingkat kota yang menghimpun organisasi tingkat kampus. Ketika itu masih bernama Kelompok Kerja Nasional FMN (Pokja FMN). Kemudian disusul dengan pembangunan organisasi tingkat kota yang terdiri dari Serikat Mahasiswa Kedaulatan Rakyat (SMKR) Yogyakarta, Front Indonesia Muda-Bandung (FIM-B), Serikat Mahasiswa untuk Demokrasi Rakyat (Samudra) Malang, Komite Aksi Mahasiswa untuk Perubahan Rakyat (KMPR) Jombang, Solidaritas Mahasiswa untuk Perjuangan Rakyat (SMPR) Surabaya, Forum Komunikasi Mahasiswa Mataram (FKMM), Serikat Mahasiswa Bandar Lampung (SMBL) dan Forum Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (FMKR) Palembang.

Dalam rentang waktu 1999-2000, FMN mengalami keguncangan internal yang sangat mempengaruhi konsolidasi internal di FMN. Persoalan yang dipicu dari pertentangan internal di Bandung dan merambah ke Jogja bahkan ke Bandar Lampung, berakhir dengan keluarnya KA-Unpad dari FIM-B, bubarnya SMKR dan keluarnya SMBL dari keanggotaan FMN. Hal yang memicu pecahnya konsolidasi karena terjebaknya pimpinan-pimpinan organisasi dalam subjektifsme yang tinggi dan kepemimpinan organisasi yang sangat tergantung pada sosok individu atau segelintir orang, hingga ketika muncul perdebatan yang mengemuka, tidak coba diselesaikan secara prinsipil atas dasar Kritik-persatuan-kritik, tetapi dengan cara-cara liberal dengan menggeret massa dalam konflik yang tidak sepenuhnya dipahami oleh mereka.

Kabut gelap yang menyelimuti FMN diantara 1999-2000 tersebut, mendorong sebagian pimpinan organisasi yang masih konsisten akan perjuangan massa untuk mengambil langkah-langkah penyelamatan organisasi dengan mengkonsolidasikan organisasi-organisasi tingkat kota dan kampus. Upaya tersebut membuahkan hasil dengan terbentuknya kembali Pokja Nasional FMN pada tahun 2000 juga. Di tahun 2001, kembali diadakan konsolidasi di Yogyakarta dengan menyusun kurikulum pendidikan nasional FMN. Kemudian penyamaan langgam kerja organisasi dengan menghidupkan kembali organisasi tingkat kota dan tingkat kampus dengan melakukan pengorganisasian massa dan perjuangan massa baik di tingkat kampus dan di tingkat kota. Dari tahun 2001 hingga 2003, dalam aksi-aksi politik mulai menggunakan nama FMN.

Sementara dalam menganalisa masyarakat masih berdasarkan kesimpulan masyarakat Indonesia adalah masyarakat kapitalis. Namun mulai muncul perdebatan tentang analisa masyarakat Indonesia apakah berkarakter kapitalis atau berkarakter setengah jajahan-setengah feodal. Platform yang diusung adalah “Deorbaisasi dan demiliterisasi serta anti imperialisme” dengan mengusung tuntutan hak-hak demokratis rakyat, pelanggaran HAM dan kebijakan-kebijakan yang anti rakyat dari rejim. Kemudian mulai melakukan trasformasi secara bertahap dari organisasi kader berbasis massa menuju organisasi massa. Namun prinsip-prinsip organisasi seperti Sentralisme Demokrasi, Kepemimpinan Kolektif, Sistem Komite dan Garis massa belum mampu diterapkan secara tepat.

Pada tanggal 18 Mei 2003, bertempat di Balai Rakyat, Utan Kayu, Jakarta, Forum Mahasiswa Nasional secara resmi berganti menjadi Front Mahasiswa Nasional melalui acara yang dikenal sebagai Kongres Pendirian Front Mahasiswa Nasional atau Founding Congress FMN. Sejak itu pula, resmi dideklarasikan FMN sebagai organisasi massa (ormass) pemuda-mahasiswa. Dalam mukadimah Kongres Pendirian juga disebutkan bahwa garis politik atau garis perjuangan FMN adalah perjuangan Demokrasi Nasional yang anti imperialisme, anti feodalisme dan anti kapitalisme birokrasi. Dari segi organisasi, kepemimpinan organisasi dari tingkat pusat hingga basis juga sudah terbentuk.

Dalam setengah tahun perjalanan pasca Kongres Pendirian FMN, muncul persoalan dalam masalah garis politik, muncul ide dari segelintir pimpinan di tingkat nasional untuk merubah garis politik dari “demokrasi nasional” menjadi “sosialisme”. Sementara dalam lapangan organisasi, kepemimpinan individu atau segelintir orang masih begitu mengental, terutama di tingkat nasional dan mulai melemahnya pengorganisasian solid di kalangan massa dan anggota yang sangat berpengaruh pada kosolidasi di internal organisasi. Puncak dari permasalah yang terjadi ini mengemuka ketika Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II di Purwokerto, Desember 2003, yang kemudian mendemisionerkan kepengurusan nasional Komite Pusat FMN dan digantikan dengan Badan Persiapan Kongres FMN (BPK FMN) yang terbentuk pada Januari 2004.

Didemisionerkannya KP FMN ternyata tidak bisa diterima oleh sebagian eks pimpinan nasional KP FMN. Upaya-upaya pendelegitimasian terhadap FMN dengan unsur-unsur provokasi terus dilakukan di beberapa kota terutama di Jogja, Purwokerto, Bandung, dan Padang. Politik pecah-belah yang dilakukan terhadap FMN oleh sebagian eks pimpinan nasional KP FMN, telah merusak konsolidasi FMN. Di Jogja, mereka memecah basis FMN di UGM, UAD dan Univ. Janabadra. Di Purwokerto hal yang sama juga terjadi. Di Bandung, terjadi pada basis FMN Unpad dan menggeret FMN Padang keluar dari FMN.

Beban besar berada di pundak BPK FMN yang bertujuan bukan saja untuk menyelenggarakan Kongres, tetapi tetap menegakkan kepemimpinan organisasional FMN secara nasional dari pusat hingga basis. Memang, anasir-anasir dari eks pimpinan nasional KP FMN yang menentang garis politik Demokrasi Nasional masih dirasakan di tubuh BPK FMN. Itu terjadi ketika muncul perdebatan yang mengemuka di BPK FMN tentang garis politik. Di tambah lagi di BPK sendiri, masih muncul subjektifisme yang tinggi di antara sesama kawan. Namun atas dasar persatuan, hal tersebut sementara dinomor duakan dengan alasan untuk mengoptimalkan konsolidasi menuju Kongres I FMN.

Akhirnya Kongres I FMN terselenggara pada 18 Mei-23 Mei di Bandar Lampung dan Metro, Lampung. Perdebatan yang sangat mengemuka ketika Kongres I adalah tentang garis politik. Namun lagi-lagi atas dasar persatuan, secara tegas Kongres I tidak menetapkan bahwa garis politik FMN adalah Demokrasi Nasional. Upaya untuk membangun kepemimpianan kolektif juga setidaknya telah dilakukan dengan dibentuknya Dewan Pimpinan Pusat FMN sebagai pimpinan tertinggi organisasi di antara dua kongres. Secara umum Kongres I FMN telah menunjukkan beberapa kemajuan dengan adanya Garis Dasar Perjuangan (GDP), Konstitusi organisasi, Program umum dan Program Perjuangan organisasi dan pembentukan DPP FMN.

Tentang Gerakan Pembetulan
Pasca Kongres I, secara perlahan-lahan FMN mulai membenahi dirinya. Dalam perjalanannya, persoalan garis politik ternyata masih menjadi persoalan yang belum mampu diselesaikan secara mendasar. Kemudian persoalan tentang lemahnya tingkat konsolidasi organisasi. Salah satu belum terselesaikannya masalah garis politik ini adalah ketika keluarnya FMN UI dari FMN dan mendirikan FMN-R dan secara nyata menyatakan afiliasi politiknya kepada Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) yang didirikan juga oleh eks KP FMN yang menentang garis politik Demokrasi Nasional.

Akhirnya pada Konferensi Pendidikan Nasional FMN dan Rapat Pleno III DPP FMN di Indralaya, Sumatra Selatan, 2005, ditegaskan kembali bahwa garis politik FMN adalah Demokrasi Nasional. Selanjutnya dalam rapat Pleno III DPP FMN juga telah diputuskan untuk melancarkan “Gerakan Pembetulan” secara politik dan organisasi. Kemudian pada Rapat Pleno IV DPP FMN di Jakarta, Desember 2005, juga telah diputuskan untuk tetap melanjutkan Gerakan Pembetulan.

Mengapa FMN melakukan Gerakan Pembetulan? Secara umum, Gerakan Pembetulan berangkat dari otokritik FMN terhadap perjalanannya selama ini dalam lapangan politik dan organisasi. Pertama, tentang mengentalnya ide borjuasi kecil dalam perjalanan pembangunan FMN dan perjuangan massa yang digelorakan. Kentalnya ide borjuasi kecil didasarkan akan kelemahan teoritis atas analisa terhadap situasi konkret masyarakat Indonesia, yang tidak berdasarkan hasil investigasi sosial dan analisa kelas secara mendalam atas situasi masyarakat Indonesia, baik tentang karakter corak produksi, sejarah perjuangan rakyat di Indonesia, persoalan-persoalan pokok dalam masyarakat Indonesia, siapa musuh-musuh utama rakyat sekaligus Pemuda-Mahasiswa di Indonesia dan bagaimana jalan keluar bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai cita-cita perubahan atas penindasan dan penghisapan yang terjadi.

Padahal inilah keadaan objektif yang harus menjadi pijakan kita bersama baik dalam membangun FMN dan menggelorakan perjuangan massa. Buntut dari mengentalnya ide-ide borjuasi kecil ini, adalah menguatnya subjektifisme dalam perjalalanan FMN terutama di kalangan pimpinan organisasi. Hinga melahirkan praktek-praktek liberalisme yang bertindak atas dasar suka tidak suka dan advountirisme (petualanganisme) baik yang kekiri-kirian yang tergesa-gesa dalam berjuang ataupun kekanan-kananan yang mudah patah di tengah arang dalam berjuang.

Kedua, dominannya ide-ide borjuasi kecil tersebut akhirnya menyeret FMN juga dalam kesalahan secara politik, yaitu tidak tegas dan tepat dalam menentukan garis politik perjuangannya. Karena, baru pada Rapat Pleno III DPP FMN, ditegaskan bahwa garis politik FMN adalah Demokrasi Nasional. Selanjutnya, bagaimana menggencarkan perjuangan massa baik dari tingkat basis (Kampus) hingga nasional. Yang sampai saat inipun kita sadari bahwa perjuangan massa di tingkat basis masih belum maksimal dan masih dominannya aksi-aksi dalam menyikapi politik nasional, yang kurang diimbangi dengan aksi-aksi massa di tingkat basis. Selanjutnya, bagaimana mendorong persatuan FMN dengan gerakan rakyat lainnya terutama dengan gerakan massa klas buruh dan gerakan massa kaum tani baik melalui front persatuan luas dan pekerjaan 3 Sama (sama kerja, sama tinggal dan sama makan).

Ketiga, secara organisasi kemudian, disadari konsolidasi organisasi dari waktu-ke waktu mulai mengalami kelemahan. Kekuatan-kekuatan massa pemuda-mahasiswa yang selama ini dimobilisir oleh FMN dalam aksi-aksinya ternyata belum mampu dihimpun dalam kesatuan organisasi yang solid. Lemahnya edukasi, mengentalnya kepemimpinan individu atau segelintitr orang, tidak tegaknya Sentralisme Demokrasi, penyakit departementalisme, cairnya pengorganisasian massa dan anggota, perkawanan buta (perkawanan tidak berdasarkan prinsip) hingga maraknya praktek-praktek terbelakang, harus diakui sebagai bagian yang membuat perjalanan FMN selama ini terus diguncang oleh pertentangan internal yang menguat. Bahkan sampai kini, hal-hal ini sesekali masih terjadi.

Hal-hal di atas tersebut yang kemudian mendorong kita untuk melakuan Gerakan Pembetulan. Gerakan Pembetulan sekali lagi bukan gerakan penyingkiran terhadap orang-orang tertentu ataupun untuk menjiplak mentah-mentah cara-cara orang lain. Tetapi, Gerakan Pembetulan adalah suatu keharusan bagi FMN untuk menatap masa depan perjuangan massa pemuda-mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia yang lebih gilang-gemilang. Sebuah upaya untuk terus membangkitkan, menggorganisasikan dan menggerakkan massa dalam memperjuangkan hak-hak demokratis-nya. Untuk itu pula Kongers II FMN juga telah melahirkan resolusi khusus untuk tetap melanjutkan Gerakan Pembetulan.

FMN Kini
Kongres II FMN telah berhasil dilaksankan 14-19 September 2006, di Bandung. Kongres II FMN telah mampu melahirkan atau meletakkan dasar-dasar politik dan organisasi yang tertuan dalam Dokumen Kongres II FMN yang berisikan Program Perjuangan dan Konstitusi FMN. Dasar politik itu adalah ditegaskannya dalam konstitusi dan program perjuangan FMN tentang garis politik Demokrasi Nasional sebagai azaz perjuangan FMN. Selanjutnya, tentang pembangunan basis terendah, yaitu organisasi tingkat kampus. Tapi hal yang sangat berarti dari Kongres II FMN, adalah semangat untuk mengobarkan terus perjuangan massa di kampus-kampus dalam memperjuangkan hak-hak mahasiswa di kampus-kampus.

Selain itu, Kongres II FMN juga berhasil melahirkan kepemimpinan kolektif tertinggi di antara dua Kongres yaitu Dewan Pimpinan Pusat FMN (DPP FMN) berjumlah 21 orang dan 6 orang Calon Anggota DPP FMN. Kini, 2 anggota DPP FMN telah dinon-aktifkan atas pelanggaran berat yang dilakukan dan persoalan genting dengan keluarga yang belum bisa ditangani kolektif DPP. Kedudukan mereka kini digantikan oleh 2 CA DPP FMN yang kini resmi menjadi anggota DPP FMN yang diangkat pada Rapat Pleno III DPP FMN, 13-17 Maret 2007 di Malang.

Hingga saat ini, keanggotaan dan organisasi FMN tersebar di 22 kota di seluruh Indonesia, yaitu Medan, Jambi, Palembang, Bandar Lampung, Jakarta, Tangerang, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Jogja, Purwokerto, Wonosobo, Jombang, Malang, Surabaya, Jember, Lamongan, Denpasar, Mataram, Lombok Timur, Singkawang dan Palu dan tersebar di 76 Kampus dengan jumlah anggota sekitar 1500 orang.

Di tingkat internasional, FMN menjadi anggota Internasional League of People Struggle (ILPS) yang mengusung platform “Lawan Penjarahan dan Perang Imperialis” dengan jumlah keanggotan lebih dari 200an dari 40an negera di dunia. ILPS sendiri pada bulan November 2007, akan melaksanakan Sidang Umum ke 3. Selain itu, FMN juga menjadi anggota Asia Student Association (ASA), sebuah organisasi mahasiswa yang menghimpun organisasi-organisasi mahasiswa di tingkat Asia dan Pasifik. ASA dalam tahun 2007 juga berencana melakukan Konfrensi Luar Biasa untuk bertransformasi menjadi Asia Pacific Student and Youth Association (APSYA).

Saat ini fokus utama dari pekerjaan FMN adalah tetap menggelorakan perjuangan massa di kampus-kampus menuntut hak-hak demokratis mahasiswa di kampus dan melakukan Rapat Umum Anggota (RUA) di kampus-kampus. Ke dua hal ini tidak terpisah-pisah tetapi menjadi satu kesatuan, hingga baik kampus-kampus yang telah melakukan RUA atau yang belum melakukan RUA, tetap harus menggelorakan perjuangan massa, sebagai upaya FMN untuk menjawab soal-soal konkret mahasiswa di kampus sekaligus untuk mengkonsolidasikan anggota.